Kehendak Nurani

22 Oct

Lantunan melodi indah senantiasa menghidupkan kembali semangat yang hampir musnah. Janji pasti dari Sang Maha Agung memperkuat kedudukannya. Lalu apa yang saya cari? Tidak ada. Hanya berharap bahwa ada satu tempat yang baik di singgasanaNya untuk orang seperti saya.

Selamat pagi. Sekian lama tidak menulis, sekalinya nulis dalam keadaan pikiran dan hati yang kurang baik. Ah, sudahlah. Toh hanya saya yang baca.

Hampir 2 bulan sudah, saya menempati ‘rumah’ yang baru, setidaknya tempat ini lebih merumahkan saya. Bisa dikatakan banyak kejadian yang saya yakini merupakan rencana terindah Tuhan untuk menempa saya, termasuk peristiwa ini, saat nurani dipertanyakan kemurniannya, saat kepercayaan dipertaruhkan kesetiaannya.

Saya orang biasa, punya pikiran biasa, punya mimpi biasa, tapi boleh lah saya katakan saya masih punya hati nurani yang luar biasa, yang masih peka membedakan apa yang selayaknya saya bela dan apa yang seharusnya saya pertahankan.

Saya tidak berani mengatakan bahwa saya punya pengendalian diri yang baik, tapi satu hal yang berani saya ungkapkan bahwa saya bukan orang yang mau dan mampu megendalikan orang lain dengan cara yang tidak baik ke arah yang dalam perspektif saya juga tidak baik.

Bingung? Saya juga. Memang terbiasa untuk menuliskan apapun yang hakikatnya belum tertata rapih di pikiran saya. Ya kembali, saya bukan siapa-siapa, hanya “pengarang” biasa.

IPK. Trus kenapa?

28 Jun

Sedang musim SIAK-NG rupanya. Timeline jadi penuh dengan komentar, “aduh, IPK!” “Ini nilai masih not publish” “Kok masih Incomplete.” Cukup banyak ragam komentar mahasiswa tentang website yang senang sekali membuat gempar di setiap awal dan akhir semester. Malam ini tetiba saya teringat tentang celetukan salah seorang sahabat beberapa minggu yang lalu.

“Gue heran deh sama orang yang mati-matian ngejar IP. Toh kalo IP lo 4 juga ga ngejamin lo dapet kerja. Banyak kok yang IP 4 jadi pengangguran”

Hm, memang bukan saya yang menjadi objek waktu itu, cuma sifat saya yang terbiasa memikirkan hal-hal kecil membuat saya tergelitik untuk merangkai kembali pesan yang pernah saya dapatkan dari beberapa orang yang cukup menginspirasi bagi saya.

Iya benar. IPK bukan penentu kesuksesan seseorang, tetapi bukannya IPK menentukan apakah seseorang akan terpanggil untuk wawancara atau tidak? Bukankah sebagian besar persyaratan untuk mendaftar ini itu harus mencantumkan IPK? Bukankah secara tidak langsung IPK mencerminkan bagaimana track record seseorang secara akademik? Ah, maafkan saya. Saya paham betul mungkin saat membaca ini, kalian terbayang sosok-sosok yang sukses di kehidupan padahal IPK mereka tidak tergolong baik. Sudahlah, tidak usah mencari alasan, pembelaan, atau panutan. Pikirkan saja, kalau kalian di posisi mereka ditambah lagi nilai akademik kalian baik, bukankah itu lebih membanggakan?

Masih ngeles kalo IPK ga terlalu penting? Hi dear, masih ingat dulu siapa yang bahagia banget pas kamu masuk kuliah? Siapa yang nyariin duit ada biar bisa mastiin hidup kamu nyaman di perantauan? IYAP bener banget! ORANGTUA! Seenggak pedulinya orangtua ama IPK anaknya, ga bisa diingkarin kalau orangtua pasti menyimpan keinginan mendalam bahwa anaknya akan sukses baik itu selama perkuliahan maupun setelah perkuliahan. Dan salah satu bukti otentik yang bisa kamu tunjukin ke orangtua kalo kamu udah belajar dengan bener ya IPK! Saya yakin pasti dalam hati kalian banyak banget yang ngomong, IPK bukan satu-satunya yang bikin orangtua bangga, ada kok orangtua yang bangga karna anaknya sering ikut kompetisi ini itu, sering keluar negeri buat hadir konferensi ini itu, sering jadi relawan di musibah ini itu. Iyaaaaaa, ngerti. Sekali lagi, saya hanya menulis dari sisi saya, ya wajar kalo ini sangat subjektif sifatnya. Tapi sekali lagi, bukankah lebih baik kalau kamu bisa berprestasi secara sosial tapi juga dibarengin dengan prestasi akademik?

Nah kalo ini, yang terakhir khusus buat kamu yang dapet beasiswa. Cuma mau ingetin sih, uang beasiswa yang kamu dapet sepaket sama kewajiban kamu buat ngasih hasil terbaik di perkuliahan. Kamu udah dapet uang dari mereka, dan kamu juga berkewajiban ngasih sesuatu ke mereka. Ya minimal dengan IPK kamu yang jauh dari angka jelek. Malu loh ama institusi atau perusahaan yang udah mercayain kamu untuk dibiayai perkuliahannya.

Hem, saya memang bukan orang yang cerdas, bukan orang yang pintar, bukan pula orang yang ber-IPK sempurna. Saya bukan orang yang mahir dalam dunia tulis menulis. Saya juga bukan orang yang berlangganan bolak balik luar negeri. Jadi wajarlah sekiranya ada ketidaksempurnaan tulisan serta judgement dari saya yang mungkin terkesan kasar, saya mohon maaf. Semoga masih ada sedikit manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini. Terimakasih untuk Kak Alia dan Fay yang pernah menyadarkan saya tentang ‘kepentingan’ ini  🙂

Dari mereka saya belajar

17 Jun

Apabila sebagian besar diari pengajar saya penuhi dengan cerita anak-anak, biarkan saya mendedikasikan tulisan ini untuk mereka, keluarga seperjuangan. Di awal tahun, Tuhan menganugerahkan saya sebuah kesempatan untuk bertandang di daerah yang sebelumnya tidak pernah saya kunjungi. GERAKAN UI MENGAJAR #2 (9 Januari – 2 Februari 2013) di Cipeuti, Pandeglang, Sobang, Banten. Hampir satu bulan berinteraksi langsung dengan mereka yang kian menggemaskan, anak-anak yang manis yang kian dirindukan, yang mengajarkan tentang ketulusan, yang melatihkan kesabaran, dan yang meninggalkan kenangan yang tidak terlupakan. Di awal keberangkatan, sempat diberi sebuah tantangan dari Tuhan, -Banjir Sobang- Ingat sekali waktu itu Papa dan Ibu memaksa menyuruh pulang, kuatir anaknya terbawa arus. Cukup besar memang banjirnya, sedada kalau saya tidak salah ingat. Masih terbayang wajah cemas sahabat GUIM lainnya, masih ingat juga waktu itu mengungsi di salah satu rumah warga dengan baju yang basah, masih terngiang perkataan salah seorang teman,”Kalian jalan terus, apapun yang terjadi jangan liat ke belakang!” Terlihat jelas setiap orang di sana berusaha menolong orang lainnya, badan sendiri nanti saja. Saat itu, saya belum terlalu mengenal mereka, namun yang saya yakin, mereka bukan orang yang biasa, bukan sekadar teman kerja, melainkan keluarga. 

SOPHA-UTI-QORI-MUSHAB-TUTI-NUZUL!

Entah apa maksud takdir mempertemukan saya dengan mereka. Mereka yang luar biasa, yang unik, yang menyenangkan. Mereka telah mengajarkan saya banyak hal. Mereka yang berhasil membuktikan bahwa hidup terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa hal bermakna. Dan mereka berhasil menunjukkan pada saya bahwa di abad ke berapapun, anak-anak selalu lebih menarik dibandingkan gadget-gadget terbaru.

UTI, gadis cantik, teman hidup selama tinggal di rumah induk semang. Uti lah yang mengajarkan saya tentang makna penampilan saat berinteraksi dengan orang lain. Dari Uti saya belajar bersikap. Saya belajar menjadi orang yang peduli dengan diri sendiri. Saya belajar tentang royalitas. Ia yang tidak pernah segan memberi tanpa batasan. Dialah Uti, si gadis pendongeng yang dekat dengan anak.

QORI, wanita shalihah yang hebat. Dari Qori saya belajarkan untuk menjadi pribadi yang menyenangkan. Saya menemukan aplikasi  alasan mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut untuk manusia. Saya belajar menjadi pendengar yang baik. Dari Qori, saya belajar tentang kesabaran, tentang ketangguhan seorang wanita. Qori yang mengajarkan saya untuk dapat peka pada orang lain. Qori, wanita manis yang perhatiannya tanpa batas.

MUSHAB, arsitek rendah hati yang punya prinsip. Awalnya ia terlihat begitu tidak bersahabat, cuek, dan mungkin sulit didekati. Sebulan bersama, saya melihat sosok Mushab yang berbeda. Melalui Mushab saya belajar tentang kreativitas tanpa batas. Ia mengajarkan saya tentang menghargai setiap keunikan manusia dalam gambar. Mushab mengajarkan saya bahwa imajinasi itu punya pengaruh yang luar biasa pada anak-anak. Ia mengajarkan saya tentang seni, seni menggambar, seni menghargai, seni menghidupkan, dan seni mendekatkan. Mushab, pemuda kreatif yang semangatnya mengagumkan.

TUTI, ibu psikolog yang punya sejuta cara dalam mengajar. Kalaulah ada yang mencari penasehat untuk membuat metode belajar untuk anak-anak, saya tidak akan segan menyuguhkan nama “Tuti” untuk mereka. Tuti yang selalu bersikap positif mengajarkan saya untuk berusaha memperhatikan hal-hal kecil. Sifat sistematis dalam dirinya selalu membuat saya termotivasi untuk hidup terarah. Tuti mengajarkan saya tentang pentingnya perencanaan di setiap tindakan. Tuti mengajarkan saya tentang indahnya hasil dari perencanaan yang matang. Dialah Tuti, perempuan teguh penampung segala keluh.

NUZUL, sang ketua Angkatan Pelita Katulistiwa GUIM 2. Nuzul, adik kecil yang menyadarkan saya bahwa umur bukanlah patokan kedewasaan seseorang. Nuzul mengajarkan saya untuk berpikir visioner, jauh ke depan. Ia yang selalu memikirkan dampak baik dan buruk setiap mengambil keputusan seolah-olah menampar saya yang cukup ceroboh dalam hal itu. Dari Nuzul, saya mengenal pertemuan, intensitas, kedekatan, dan persahabatan.  Nuzul, si koordinator pemersatu angkatan.

Terimakasih Uti. Terimakasih Qori. Terimakasih Mushab. Terimakasih Tuti. Terimakasih Nuzul. Sangat bersyukur sempat dipertemukan dan menghabiskan waktu bersama kalian

Perkenalkan, Ia…

11 Jun

Tulisan ini saya berikan untuk orang terkasih dalam hidup saya, jiwa, hati, dan ruh saya, yang kebahagiaannya adalah kebahagiaan saya, dan penderitaannya adalah penderitaan saya.

Malam ini saya terbangun, tersentak pada suatu kondisi dimana saya menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan waktu yang saya miliki bersamanya. Saya tertegun, khawatir apabila suatu saat nanti saya menyesal karena masih belum dapat sepenuhnya menjadi sesuatu yang dapat membanggakannya.

Saya menyayanginya, sangat mencintainya. Sungguh.

Tidak sanggup mengukirkan kata yang dapat menggambarkan betapa diri ini bersyukur didekatkan dengannya. Saya yang kecil dalam pengasuhannya. Teringat jelas, ia yang sempat bekerja di luar kota tidak pernah lupa membawakan saya minuman bersoda setiap akhir pekan saat ia kembali ke rumah. Mungkin terdengar biasa, namun sangat berarti bagi saya. Pernah suatu masa, saya yang masih sangat kecil menangis terisak saat mengetahui bahwa ia terjatuh di kamar mandi di kantornya yang jauh dari tempat tinggal saya. Semua orang mungkin berpikir saya belum mengerti, namun ketahuilah saat itu hati saya menangis, terbayang sakit yang beliau rasakan dulu. Dulu sekali.

Ia menjadi sosok yang  sangat disegani oleh teman-teman saya. Setiap pagi ia mengantar saya ke sekolah. Pulangnya, saya dijemput. Ia yang sudah ditugaskan bekerja di dalam kota membuat saya bak putri raja yang selalu mendapat perlindungan. Manja? Iya, tidak masalah. Saya bangga. Semesta. Saya BANGGA! Saya bahagia dimanjakan dengan perlindungan tanpa henti yang ia curahkan untuk saya.

Perkenalkan, ia jantung hati saya.

Ia yang mengajarkan saya tentang cinta. Cintanya pada pasangan hidupnya, kesetiannya untuk merawat, ketegarannya untuk menemani proses pengobatan, kekuatannya yang menutup kesedihan, kelembutannya. Semuanya. Ia yang romantis, yang berhasil mengajarkan saya tentang ketulusan, kesediaan memberi, keinginan membahagiakan.

Perkenalkan, ia teladan saya.

Ia yang mengajarkan saya tentang kepedulian. Kepekaan untuk mengetahui kondisi orang lain. Keinginan untuk berbagi. Kedewasaan untuk memberi. Yang mengajarkan saya tentang apresiasi. Yang selalu menjadi orang pertama untuk memberikan ucapan selamat untuk setiap keberhasilan kecil yang saya lakukan. Ia pula yang menjadi orang pertama yang memberikan tangannya saat saya terjatuh karena belum mampu terbang terlalu tinggi mendapatkan sesuatu.

Perkenalkan, Ia kebanggaan saya, Papa.

 DSC01368

Selamat Ulang Tahun, Jihan

11 Apr

Namanya Jihan, gadis manis pertama yang saya temui di balairung kala itu…

(gadi yang tiba-tiba berada persis di belakang saya, mukul punggung, trus cerita panjang lebar tentang kosan barunya! belum kenal loh ini)

Namanya Jihan, gadis yang di awal waktu sempat membuat saya khawatir untuk memulai pertemanan dengan ‘orang Jakarta’ dengan segala ke”unik”an tingkahlakunya

 

Namanya Jihan, gadis pertama yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri saya di kampus perjuangan

(gadis yang pertama kali memberi saya tepuk tangan saat pertama kalinya berbicara di depan satu angkatan, ah! pasti dia lupa)

Namanya Jihan, gadis pertama yang telah mengajarkan saya tentang kerjakeras untuk menata kehidupan

(dia tahu bahwa hidup yang kian berantakan butuh waktu dan usaha keras untuk pembenahan)

 

Namanya Jihan, gadis pertama yang megajarkan saya untuk menghargai setiap kelebihan yang orang miliki

Namanya Jihan, gadis pertama yang mengenalkan saya pada selendang mayang, kerak telor, dan debus

(kota tua, lampu, cincin, terimakasih utk satu hari yang mengagumkan waktu itu…)

Namanya Jihan, gadis pertama yang berhasil meyakinkan saya bahwa sebenarnya mimpi memang harus di kejar

(terimakasih untuk setiap dukungan tiada hentinya)

 

Namanya Jihan, gadis pertama yang berhasil membuat saya mampu mengatakan tidak untuk menerima pekerjaan yang overlapping

(ingat sekali waktu sang ketua angkatan mengamanahkan saya sesuatu, dan dia bilang, “sova lagi banyak kerjaan!” jangan sova dulu! aah saya saja tdk sanggup menolak permintaan org walaupun memang overlap sekali saat itu)

 

Namanya Jihan, gadis pertama yang selalu memberikan semangat, dukungan, harapan, dan keajaiban di setiap langkah kegiatan yang saya lakukan

 

Iya, namanya Jihan…

Gadis yang baru tiga tahun saya kenal, namun telah mempengaruhi hidup saya begitu banyak

 

Namanya Jihan,

Yang hari ini berulangtahun…

Tidak banyak doa yang ingin dilisankan, namun sungguh berjuta harapan terucap dalam hati

 

Selamat ulang tahun, Jihan  🙂

 

 

 Image

Wanita Garang berhati Riang

6 Apr

Kemarin sore sempat ‘terkesima’ melihat seorang wanita berpakaian (maaf) agak tidak pantas, naik angkutan umum, dan berbicara dengan cukup kasar dan keras pada teman-temannya yang kurang lebih hampir sepertinya.

Cukup deg-degan satu mobil dengan mereka. Kuatir tiba-tiba saya dibentak karena sibuk sendiri di pojokan angkot memerhatikan mereka. Kuatir tiba-tiba saya ditarik trus dilempar keluar angkot, trus mereka ketawa keras-keras (kalo ini asli bayangan parno saya :”)

Tiba-tibaaaaa….Angkot berhenti. Seorang anak kecil, perempuan, manis, cantik, dan lucu naik bersama ibunya. Saya yang refleks langsung senyum sama si malaikat kecil ini. Cukup lupa sejenak ama si wanita garang tadi. Beberapa saat kemudian, si anak kecil nangis (mungkin krna liat saya *Sedih*). Saya yang berusaha buat nenangin ternyata gagal. huft!

Masih panik dengan si anak kecil, wanita garang tadi dengan anggunnya tersenyum pada si anak, memegang, dan kemudian memangku si malaikat kecil. Wajah garangnya seketika berubah menjadi wajah bidadari berparas keibuan. Kata-kata kasarnya seketika berubah menjadi suara merdu yang enak didengar. Manis sekali :’)

Dan terbukti! si anak berhenti menangis dan ikut senyum-senyum cantik… 🙂 Ajaib!

Hm, cukuplah cerita ini menyadarkan saya bahwa sejatinya setiap wanita memang dititipkan “rahim” dari Allah.

“Rahiim” si penyayang, tempat tinggal sang calon bayi.

“Rahiim” yang di dalamnya dipenuhi luapan kasih sayang, yang akan muncul sendirinya ketika naluri itu terpanggil.

Naluri keibuan dan wanita memang tidak dapat dipisahkan, bagaimana pun kondisinya. Sungguh 🙂

 

 

Ibu Pulang Ya, Nak!

10 Feb

Sore ini sepertinya hati saya sedang rapuh, tak ingin mengerjakan apapun, kembali larut dalam kebahagiaan semu di Pandeglang minggu lalu. Kembali terkenang akan kebahagiaan menjadi seorang guru. Teringat saat kelas begitu hiruk pikuk dengan suara teriak, tangis, tawa anak-anak. Teringat saat jalan Cipeuti-Pancal begitu ceria dengan nyanyian yang dibawakan anak-anak. Teringat dikala senja mereka berlarian di samping saya untuk berpegangan hingga sampai di surau terdekat. Ah, nikmatnya.

Sudah hampir seminggu kehilangan rutinitas di sana. Pagi mengajar, siang ke Pancal, sore evaluasi pengajar, kunjungan rumah murid, malam berkumpul bersama keluarga, menyiapkan media untuk keesokan harinya, menulis diary pengajar. Iya, rutinitas yang ringan. Tidak terpikirkan harta sedikit pun. Tidak terpikirkan polusi yang kian mengambang di Jakarta. Tidak terpikirkan LTM, tugas, paper, kuis, ulangan, dan lain sebagainya yang membuat otak ini sering merasa dizholimi. Di sana begitu damai. Tanpa beban.

1 Februari 2013.

Hari ini hari terakhir saya mengikuti program Gerakan UI Mengajar di Cipeuti. Perpisahan kali ini diawali dengan sesi sharing dengan para guru ‘asli’ di sekolah Kertaraharja 1. Duduk melingkar dalam suasana yang begitu hangat membuat perbincangan kali ini terasa kondusif. Sebagai guru kelas 1, tidak banyak hal yang saya ceritakan tentang progress materi. Justru progress kesadaran anak-anak tentang keberhargaan diri mereka lah yang saya tonjolkan.

Di awal pertemuan dengan anak-anak, tidak satu pun dari mereka yang berani maju ke depan kelas untuk menyiapkan doa. Saat ini sebaliknya, saya kewalahan untuk memilih siapa yang akan maju ke depan kelas.

Di awal pertemuan, saya menemukan begitu banyak dari mereka, jangankan untuk membaca, mengenal huruf pun tidak. Namun, di akhir pertemuan saya melihat sosok-sosok pekerja keras yang telah mengerti bahwa “a itu lingkar pakai kaki, b itu punya perut buncit, c itu setengah lingkaran…, y itu seperti ketapel, dan z itu seperti jalan yang berkelok.”

Di awal pertemuan, saya membaca nama-nama yang saya sendiri bingung untuk membacanya, “RAWMA (maksudnya MAWAR), IREH (maksudnya HERI), (((( (maksudnya CUCU), dan nama-nama lainnya yang tidak kalah rumit. Akan tetapi, di akhir pertemuan, saya telah melihat nama MAWAR, HERI, CUCU, TINGGAL, RASMI, dll terpatri cantik tanpa salah ejaan sedikitpun di lembar ujian mereka.

Di awal pertemuan, saya merasakan keisengan Mawar untuk mencubit temannya, keributan Erul untuk naik-naik meja, kehebohan Tinggal untuk berputar-putar di kelas, Dede yang tidak pernah memperhatikan pelajaran di kelas, Sarman yang sering bolos, Anto yang sering keluar masuk kelas untuk jajan, Sarni Sarnah yang sering bertengkar, tangisan Aryanti, Tika, dan Cucu yang takut ditinggal orangtuanya, ungkapan malu Rasmi karena ngompol di kelas, kebosanan Wardi untuk tetap stay di kelas hingga pelajaran usai, dll. Namun di akhir pertemuan, saya menemukan Mawar menjadi gadis manis yang senang membantu temannya, gadis manis yang rajin menyapu kelas dan berlatih menulis, Tinggal menjadi polisi kelas yang sangat membantu saya menentramkan kelas, Dede yang sudah mau mendengarkan apa yang saya katakan, Sarman yang selalu hadir di kelas dengan gambar-gambarnya yang luar biasa, Anto yang selalu setia menemani kemanapun saya pergi, Sarni Sarnah yang sudah cukup penyabar, Aryanti, Tika, dan Cucu yang tidak perlu ditemani orangtua lagi, Rasmi yang sudah bisa ke kamar mandi, dan Wardi yang selalu berbisik pada saya bahwa suatu hari nanti dia akan menemui saya di Jakarta dengan profesi polisi di Monas. Bahagianya :’)

Tidak mudah bagi saya untuk membentuk “tanah liat” ini dalam waktu 3 minggu. Hanya berusaha tulus dan menghargai jerih payah mereka sekecil apapun itu. “Partner yang mengajarkan saya bahwa salah satu jalan untuk mencapai suatu tujuan adalah apresiasi,” ungkapan Bu Tuti, salah satu pengajar GUIM saat memberikan apresiasi kepada saya. Benar, saya sungguh menikmati progress mereka dalam belajar. Ketika mereka sudah mampu menggambar hal lain selain gunung, walaupun itu hanya coretan yang tidak berbentuk, bagi saya itu kemajuan. Ketika di akhir pertemuan, banyak sekali anak-anak yang menggambar dua manusia yang ternyata salah satunya adalah saya, bagi saya itu kemajuan yang luar biasa. Ketika mereka telah berani jujur saat tidak mengerjakan PR, bagi saya itu anugrah. Banyak sekali hal-hal yang sering dianggap sepele oleh orang lain padahal sejatinya itu layak diberi apresiasi. Langkah sederhana untuk hasil yang luar biasa.

11.00 WIB.

M: “IBUUU SOPAAAA! Sini! Siniiii! Ayo Bu masuk kelaaaaas!”

S: “Iya Nak! Sabar, sabar. Ada apa? ^_^”

M: *menarik tangan saya*

S: *terharu* *pengen nangis*

Guru mana yang tidak terharu ketika anak-anak didiknya menyiapkan kejutan perpisahan yang manis di kelas. Itu saya. Saya tidak pernah menyangka anak-anak saya yang tingginya belum nyampe sepinggang saya bisa seromantis ini. Di dalam kelas telah banyak kado-kado. Mereka yang demikian polosnya berebutan menyerahkan kado itu pada saya.

“Ibuuu Sopaaa, ini untuk Ibuuuu!”

“Ibuuu, di dalamnya ada kerudung buat Ibu dari Mama.”

“Ibuuu, Satini belum ambil kadonyaaa, Satini jemput dulu yaaa Bu…”

“Bu, ini kado buat Ibu. Tadi saya yang beli isinya. Dikasih uang Rp 5.000,- sama Bapak!”

“Ibuuu, nanti dimakan di jalan mau ke Jakarta yaaa.”

“Ibuuuu,….”

Hening. Tak kuasa menahan haru. Tapi tidak mau larut. Mereka akan baik-baik saja. Pasti.

S: “WAAAAAH! BANYAK SEKALIII… TERIMAKASIH YA ANAK-ANAAAAK! IBU BAWA KE JAKARTA BOLEEEEH?”

M: “BOLEEEEEEH!”

Suasana bahagia di kelas itu berlanjut di atas panggung…

13.30 WIB.

“PENAMPILAN PERTAMA DARI KELAS SATUUUUUUUUU. KYAAAAA”

Saya pernah bermimpi bahwa saya ingin sekali mengatur anak-anak untuk tampil di suatu acara (mimpi ini pernah saya katakan kepada Bapak Nuzul, pengajar GUIM kelas 6 SD ketika pelantikan pengajar di Balai Sidang). Hari ini mimpi saya terwujud! Saya diberi kesempatan oleh Allah untuk mengatur anak-anak saya di atas panggung untuk bernyanyi dan dilihat orang banyak. Bahagianya melihat anak-anak begitu bersemangat menyanyi di atas panggung tanpa beban sedikipun. Mereka anak-anak saya. Anak didik saya. Saya bangga pada mereka.

Penampilan kami berjalan lancar. Sorak sorai tepuk tangan penonton saya anggap sebagai bentuk apresiasi bahwa anak-anak saya telah berhasil memukau penonton.

Usai penampilan, saya dan anak-anak masuk ke barisan penonton untuk melihat penampilan dari kelas lainnya. Entahlah ini hanya perasaan saya saja atau memang begini adanya, saat menonton bersama saya, anak-anak terlihat demikian dekatnya. Ada yang tiduran di paha saya, ada yang memeluk saya, ada yang memegang tangan saya, ada yang sekadar berpayungan dengan saya. Tahukah mereka bahwa sebentar lagi kami akan berpisah? Sepertinya mereka sudah paham bahwa perpisahan memang menyakitkan namun ini tidak dapat dihindari. Mungkin mereka hanya ingin melepas rindu sebanyak-banyaknya agar nanti masih bisa mengenang saya ketika paras ini tidak berdiri lagi di depan kelas mereka. Mungkin mereka hanya ingin menikmati moment-moment terakhir bersama saya sebelum semuanya sirna tanpa noda. Mungkin…

16.00 WIB.

Waktunya pulang. Perlahan warga mulai bubar dari barisan penonton. Tinggal 1 jam untuk mempersiapkan kepulangan.

S: *Nyari-nyari Anto*

Anto, anak didik yang paling dekat saya tetiba menghilang. Ingin sekadar pamitan namun raganya tak terlihat. Saya tidak tahu kapan terakhir Anto berada di lingkungan sekolah. Yang saya tahu, saya akan sangat menyesal ketika meninggalkan Cipeuti tanpa pamitan dengan Anto. Sembari mencari Anto, para orangtua murid mendekati saya sambil menangis. Saya yang memang dasarnya begitu rapuh (?) mudah sekali larut dalam isak tangis mereka.

Tinggal: *melirik saya* *senderan ke tembok* *nangis ternyata*

Cukup terkejut melihat polisi kelas yang saya kira kuat ternyata justru malah paling terisak menangis.

S: “Tinggal, ada apa Nak?”

T: *diam* *sesenggukan*

S: “Tinggal ingat kan apa yang pernah Ibu bilang di kelas? Ibu akan sedih kalo ngeliat anak murid Ibu sedih.”

T: *masih nangis*

S: *meluk Tinggal*

T: “Saya berhenti jadi polisi kelas, Bu.”

Cukup dramatis hingga (sekali lagi) saya menangis. Aduh! Kejadian dramatis itu akhirnya berakhir dengan Tinggal melepaskan pelukan saya dan pergi begitu saja. Sakit memang. Tapi saya tau Tinggal lebih sakit.

16.30 WIB.

S: *celingukan masih berharap Anto datang*

ANTO DATANG! Dibawa Nuel, salah satu panitia GUIM.

Kalo boleh, saat itu saya pengen banget muter lagu India sambil lari-lari ke Anto. Hahaha. Tapi karna status saya sebagai guru, cukuplah air mata di sudut mata yang menjadi saksi kebahagiaan hati ini (apaan sih Va!)

Obrolan sederhana dengan Anto sebagai layaknya Ibu dan anak pun terjalin.

A: “Bu Sopa, pulang sekarang?”

S: “Iya Nto.”

A: “Besok ga bisa pegangan dong?”

S: “Hm, iya. Ya udah sekarang pegang lama-lama.”

A: *ngambil hand sanitizer di tas saya*

S: “Buat Anto aja cuci tangannya.”

A: “Iya? Beneran?”

S: “Iya!”

 A: “Ibu, di sini ada gambar tangan!”

S: “Oh iya? Anggap tangan Ibu Sopa aja ya Nto!”

A: *megang handsanitizer seolah-olah itu tangan Sopa*

Percaya atau ga, Anto nyium pipi saya. Masih kerasa mpe sekarang

S: :’)

17.00 WIB

Waktunya pulang. Ojeg sudah tersedia. Tas beres. Hm, selamat tinggal Cipeuti, selamat tinggal Anto, selamat tinggal anak-anak. Ibu akan ke sini lagi. Inshaallah

Depok, 8 Februari 2013 pukul 07:54 WIB

Say Cheese

10 Feb

H-4. Ga kerasa bentar lagi pulang. Pulang untuk kembali ke rutinitas biasanya. Ah, seperti mimpi saja berada di sini. Berasa ikut sebangsa reality show yang apabila shootingnya selese, ya pulang. Mungkin luka perpisahan itu akan segera datang. Mungkin tangis pilu beberapa hari lagi akan merebak. Tapi satu yang saya yakini, kami (pengajar) memang sedemikian sedihnya meninggalkan anak-anak, namun pedih yang kami rasakan akan terobati dengan sendirinya dengan kegiatan kampus yang memang menyita perhatian, tapi tidak dengan anak-anak. Ini kehidupan mereka. Mereka seolah-olah hanya dikejutkan dengan kebahagiaan sesaat. Di saat motivasi untuk sekolah itu tumbuh, di saat rasa cinta itu muncul, di saat kedekatan dengan pengajar baru mereka semakin kokoh, di saat itu pula mereka tersentak bahwa pertemuan ini akan segera berakhir. Sungguh, saya begitu kuatir mereka terkungkung dalam kenangan. Akan tetapi, sejatinya saya lebih khawatir apabila saya meninggalkan mereka dalam kondisi yang sama persis saat pertama kali saya bertemu dengan mereka, belum bisa baca, bahkan mengenal huruf pun tidak.

Kelas dimulai. Dengan nada sesemangat biasanya, saya kembali mengubah countdown di papan tulis.

S: “ANAK-ANAAAAAK! BERAPA HARI LAGI IBU DI SINIIIIIII?!”

M: “Empat Bu!”

S: “IYA BENAAAR!”

… (sejenak, suasana kelas diam) à berasa lagi di sinetron

Yani: “Ibu tambah 14 hari aja Bu di sini.”

Tinggal: “Ibu mah pulang ke Jakarta sehari aja kan ya Bu?!”

Sova: “Kan Ibu mau sekolah Nak! Ibu mau jadi perawat beneran dulu. Jadi musti belajar. Sama kaya kalian. Ntar kalo mimpi kita sama-sama kewujud, kita bisa ketemu… di Jakarta… :’)”

Saya yang biasanya begitu mudah rapuh dan terharu mendengar anak-anak berkata demikian hari itu begitu kuat. Tidak ingin menambah perih di hati mereka.

Memotong suasana sendu, kelas saya awali dengan pengumuman nilai ulangan. Dengan metode ulangan personal (ujian tulis-hitung-baca-pengetahuan umum satu murid satu guru), saya menemukan kemampuan anak-anak sejauh mana sampai hari ini. Hasilnya, bahagianya saya bahwa ada kemajuan di calistung, ia benar ada kemajuan. Terimakasih Tuhan J

Usai pengumuman dan apresiasi juara bagi peringkat kelas kali ini, pelajaran hari ini diawali dengan cara menulis,mengamplopkan, dan mengirim surat. Memang agak susah sepertinya. Dengan hambatan mereka belum semuanya lancar menulis dan mengenal huruf, surat menjadi sesuatu hal yang berat bagi mereka. Dengan bantuan total care (?), percaya atau tidak akhirnya surat selesai. Dan seperti seolah latah sekelas,  semuanya nulis buat Bu Sopa (pegen langsung terbang saking bahagianya). Saya yang hari itu tidak dalam kondisi sehat dengan perut melilit seolah langsung seperti bidadari cantik yang sehat sentausa (fix banget diary hari ini paling absurd)

Usai menulis surat yang telah diamplopkan tersebut, pelajaran mengulang bentuk huruf dan angka selalu menjadi pilihan. Kali ini saya menerapkan metode pembelajaran sesuai kemampuan (dari kemarin, nama metode yang saya gunakan semata-mata hasil asumsi saya saja loh ya!). Untuk anak-anak yang belum bisa menulis dan mengenal huruf dengan baik, saya meminta mereka untuk menebalkan garis putus-putus yang ada di buku yang baru diserahkan panitia kepada saya untuk dibagikan pada murid. Alhamdulillah mereka sebegitu antusiasnya untuk mulai menulis. Ketika mereka disibukkan dengan aktivitas belajar menulis, saya menghampiri anak-anak yang kemampuannya sudah jauh lebih baik. Awalnya hanya soal dadakan yang saya berikan, lambat laun mereka larut dalam metode kejar soal yang saya terapkan.

Sova: “Yani, Fatimah, Minih, Emut, Tinggal. Ini soalnya. Coba dicari jawabannya ya. Kalau satu soal ini selesai, panggil Ibu, Ibu akan periksa dan berikan satu soal berikutnya. Yang paling banyak dan benar menjawab soal akan Ibu angkat menjadi guru kecil di kelas.”

Dengan mata berbinar-binar, mereka menjawab soal-soal yang saya berikan.

G-U-R-U K-E-C-I-L!

Benar! Hampir semua anak didik saya sangat suka diberi suatu tanggungjawab yang menurut mereka prestigius, seperti polisi, dokter, guru, assisten Ibu Sova, dll.

Yani: “Bu, pinjam tangan!”

Sova: *ngasih*

Yani: *ngitungin*

Oalah,,, ternyata tangannya kurang buat nambahin 13+18 -_-“

… 09:15

Kak Dara, salah satu panitia GUIM #2 masuk kelas dengan membawa seperangkat alat foto. It means, sekarang waktunya saya dan anak didik saya berfotooooo.. Kyaaaa ß yang paling heboh!

Believe it or not! Ngatur anak kelas 1 buat foto yang cuma 5 menit ngabisin waktu hampir 30 menit. Huuf!

S: “Ayoo, yang rapih! Nani di sini, Mawar di sana. Anto maju sedikit, Tinggaal tenang…. Erul, tidak lari-lari ya…..”

M: “Ibuuuu, maunya dekat Ibu Sopaaa! Sayaaa jugaaa! Sayaaaa!!!”

S: “Iya, sebentar yaa… tempatnya sama saja.. yang penting kebagian tempat. Ayo semuanya jangan bergerak ya… SIAAAAP?”

*tiba-tiba riweuh* *Mawar dan si kembar berantem kaya di tipi-tipi*

S: “Mawar, Sarni, Sarnah! Ada apa?”

Sarni: *sesenggukan*

Sarnah: *ingusnya keluar*

Mawar: *hening*

S: “Sudah.sudah. Ibu di antara Sarni dan Mawar ya. Jangan bertengkar. Ibu sedih kalau anak murid Ibu tidak saling menyayangi.”

30 menit kemudiaaaan…..

Akhirnyaaaa….

SAY CHEESEEEEE! JEPRET!

Depok, 7 Februari 2013, pukul 10:36

Rindu dan Sendu

10 Feb

Kamis ini sendu. Rindu bertemu sang penghibur itu. Rindu Bapak dan Ibu. Ah, mellow sekali. Di tengah hiruk kegembiraan suasana muludan di Desa Cipeuti, di tengah keramaian suasana lomba di sini, di tengah tawa dan bahagia warga bersama anak mereka, jujur saja saya merasa sepi. Entahlah perasaan apa ini. Apa mungkin karena hari ini libur sehingga kerinduan mengajar di kelas membuat suasana hati ini sedikit kelam? Atau mungkin karena hari ini saya sampai ke titik jenuh untuk hidup jauh dari suasana kota? Hm, tidak mungkin! Toh selama ini saya begitu menikmati menjadi Ibu bagi anak-anak saya di kelas 1. Yakin sekali, ini hanya perasaan rindu yang kian menggebu.

Eh udah ah! Sok rapuh ._. Paragraf pertama di atas ga beneran loh ya, biar ceritanya tambah dramatis aja keberadaan saya di sini (ngeles). Hari ini tetap spesial kok, tetap berharga seperti hari-hari sebelumnya, believe it or not! Hari ini saya jadi juri masak acara muludan di daerah sini. Dengan modal indera perasa seadanya dan daya ingat yang jauh dari kata baik, saya beranikan diri untuk menerima tawaran panitia untuk menjadi juri *loncat-loncat*

Terlalu lelah hari ini untuk menceritakan sedemikian kreatifnya Ibu-Ibu di sini mengolah jagung menjadi makanan yang kalo di coba ama chef Juan mungkin dia bisa koprol sambil bilang WOW di lumpur Cipeuti (?) Abis lomba masak, yang bikin saya ngerasa punya hubungan keluarga ama chef Marinka, saya ke sekolah buat bantuin Tuti ngelatih anak-anak yang bakal jadi petugas upacara Sabtu ini. Honestly,saya ga punya keahlian di bidang baris berbaris (jadi intinya ga punya keahlian ya Va? Masak ga! Baris juga ga!) Walaupun ga bisa bantu banyak, saya yakiiiin kehadiran fisik saya di sana ngasih support moral buat Tuti (uhuk!). Sudahlah, tidak banyak tulisan hari ini. Hanya sekadar pencitraan kalo sebenarnya di hari libur saya masih produktif *blushing

Cipeuti, 24 Januari 2013, pukul 21:36 wib

9 Hari Lagi Ibu Sopaa Pulaaang! Horeeee!

10 Feb

Sova: “Assalamu’alaikum anak-anak” *semangat 45*

Murid: “Waalaikumsalam, Ibu Sopaaaaaaa.” *double semangat 45*

Sova: *ngeliat ke papan tulis, count down kepulangan sova udah di ganti dari angka 10 ke 9* “Waaaah, sudah diganti :’) siapa yang ngubaaah? Trimakasih banyak. JADIIIII IBUUU SOPA 9 HARI LAGIIII AKAN PULAAANG YAAY!” *menggunakan mimik muka yang luar biasa ceria* à salah fokus

Murid: “YAAAAAAAY!” *anak-anak ikutan girang

Sova: *jleb* *jadi nyesel pake mimik bahagia*

Iya, itu lah anak kelas 1 yang MASIH BELUM mengerti arti kepulangan (semoga). Apabila anak kelas 5 begitu sendu mengganti count down, kelas 4 yang nambah angka puluhan di depannya, anak kelas 1 justru begitu bahagia wktu saya bilang saya akan pulang. Segitu tidak menyenangkan saya? *mandi di pojokan pake shower.* Ah nggak kok, buktinya semakin dekat dengan jadwal kepulangan, mereka luar biasa patuh dan penurut, begitu sering memeluk saya, mencium tangan saya, mencubit pipi saya, dan gelantungan di kaki saya (?)

Kelas pagi ini dimulai dengan pelajaran IPA, karena minggu kemarin sudah belajar mengenai energi panas dan gerak, kali ini disambung dengan energi listrik. Dengan metode pertanyaan berantai akhirnya materi energi listrik pun tersampaikan.

Di tengah-tengah pelajaran tentang energi listrik…

*cahaya matahari masuk kelas*

Yani: “Ibu Sopaa, ada energi panas dari matahari yang bisa mengubah baju basah menjadi kering!”

Sova: *langsung pengen koprol* “Wah, benar sekali Yani, bagus!”

Yani, anak yang vokal di kelas yang wajah dan tingkah lakunya mirip banget ama tokoh Delisa di film Hafalan Sholat Delisa,memang seringkali membuat saya yakin bahwa anak di desa ini sungguh cerdas, mereka hanya butuh kesabaran untuk bisa mengerti.

Selanjutnya, pelajaran IPS tentang denah rumah mulai didiskusikan. Dengan sisa-sisa suara yang ada, saya memang lebih banyak menjelaskan dengan gambar di papan tulis. Kali ini saya menggambar denah rumah. Hm, mungkin pelajaran ini cukup berat bagi anak-anak, mereka yang telah terbiasa menggambar rumah tampak depan agak kesulitan menggambar rumah tampak atas.

Sova: ”Nak, ini gambar apa?”

Adi: “Kolam berenang Ibu.”

Sova: “Di rumah Adi ada kolam berenang kah?”

Adi: “Sekarang belum, tapi ini buat nanti.”

Sova: “:’)”

Kelas IPS juga akhirnya selesai menghasilkan beraneka ragam denah rumah impian anak-anak.  Pelajaran dilanjutkan dengan SBK, salah satu pelajaran yang sangat disukai oleh anak-anak. Kali ini saya mengambil bahan bernyanyi dan menggambar tokoh.

S:  *menggambar 3 orang, ayah, ibu dan anak di papan tulis* “Ini gambar apaaa?”

M: “Bapak, Emak, dan Anaaaaak.”

S: “Bagus! Pernah dengar lagu ini?” *sing*

Oh Ibu dan Ayah, selamat pagi

Ku pergi sekolah sampailah nanti

Hormati gurumu sayangi teman

Itulah tandanya anak yang budiman

M: *cengo*

S: “Ibu ulang yaaaa..” *nyanyi lagi*

Oh Ibu dan Ayah, selamat pagi

Ku pergi sekooo—$gashsjg%6%%6iY

M: “Ibu sopa nangis?”

S: *suara ilang* *geleng-geleng*

Yani: “Saya sudah hafal Bu! Saya yang nyanyi yaaaa…”

S: *terharu* (lagi)

Kurang lebih setengah jam anak-anak terlihat berusaha menghafal lagu yang baru saya ajarkan. Terlihat wajah-wajah so depressed yang belum bisa baca tulisan, yang hanya bermodalkan ingatan mendengar dalam hafalan. Tapi apapun itu, Ibu salut Nak! Kalian hebat!

Pertemuan hari ini ditutup dengan menggambar tokoh. Nah, bukan narsis atau pengen banget, tokoh kali ini yang harus mereka gambar adalah TARAAAAA! –BUUU SOPAAAA-

Dengan usaha tinggi, crayon cinta, dan spidol kasih (?), syukur alhamdulillah akhirnya mereka berhasil menggambar Bu Sopa yang sejujurnya lebih terlihat seperti orang anorexia yang baru kesetrum listrik ._.

Cipeuti, 24 Januari 2013, pukul 07:18 wib