Sore ini sepertinya hati saya sedang rapuh, tak ingin mengerjakan apapun, kembali larut dalam kebahagiaan semu di Pandeglang minggu lalu. Kembali terkenang akan kebahagiaan menjadi seorang guru. Teringat saat kelas begitu hiruk pikuk dengan suara teriak, tangis, tawa anak-anak. Teringat saat jalan Cipeuti-Pancal begitu ceria dengan nyanyian yang dibawakan anak-anak. Teringat dikala senja mereka berlarian di samping saya untuk berpegangan hingga sampai di surau terdekat. Ah, nikmatnya.
Sudah hampir seminggu kehilangan rutinitas di sana. Pagi mengajar, siang ke Pancal, sore evaluasi pengajar, kunjungan rumah murid, malam berkumpul bersama keluarga, menyiapkan media untuk keesokan harinya, menulis diary pengajar. Iya, rutinitas yang ringan. Tidak terpikirkan harta sedikit pun. Tidak terpikirkan polusi yang kian mengambang di Jakarta. Tidak terpikirkan LTM, tugas, paper, kuis, ulangan, dan lain sebagainya yang membuat otak ini sering merasa dizholimi. Di sana begitu damai. Tanpa beban.
1 Februari 2013.
Hari ini hari terakhir saya mengikuti program Gerakan UI Mengajar di Cipeuti. Perpisahan kali ini diawali dengan sesi sharing dengan para guru ‘asli’ di sekolah Kertaraharja 1. Duduk melingkar dalam suasana yang begitu hangat membuat perbincangan kali ini terasa kondusif. Sebagai guru kelas 1, tidak banyak hal yang saya ceritakan tentang progress materi. Justru progress kesadaran anak-anak tentang keberhargaan diri mereka lah yang saya tonjolkan.
Di awal pertemuan dengan anak-anak, tidak satu pun dari mereka yang berani maju ke depan kelas untuk menyiapkan doa. Saat ini sebaliknya, saya kewalahan untuk memilih siapa yang akan maju ke depan kelas.
Di awal pertemuan, saya menemukan begitu banyak dari mereka, jangankan untuk membaca, mengenal huruf pun tidak. Namun, di akhir pertemuan saya melihat sosok-sosok pekerja keras yang telah mengerti bahwa “a itu lingkar pakai kaki, b itu punya perut buncit, c itu setengah lingkaran…, y itu seperti ketapel, dan z itu seperti jalan yang berkelok.”
Di awal pertemuan, saya membaca nama-nama yang saya sendiri bingung untuk membacanya, “RAWMA (maksudnya MAWAR), IREH (maksudnya HERI), (((( (maksudnya CUCU), dan nama-nama lainnya yang tidak kalah rumit. Akan tetapi, di akhir pertemuan, saya telah melihat nama MAWAR, HERI, CUCU, TINGGAL, RASMI, dll terpatri cantik tanpa salah ejaan sedikitpun di lembar ujian mereka.
Di awal pertemuan, saya merasakan keisengan Mawar untuk mencubit temannya, keributan Erul untuk naik-naik meja, kehebohan Tinggal untuk berputar-putar di kelas, Dede yang tidak pernah memperhatikan pelajaran di kelas, Sarman yang sering bolos, Anto yang sering keluar masuk kelas untuk jajan, Sarni Sarnah yang sering bertengkar, tangisan Aryanti, Tika, dan Cucu yang takut ditinggal orangtuanya, ungkapan malu Rasmi karena ngompol di kelas, kebosanan Wardi untuk tetap stay di kelas hingga pelajaran usai, dll. Namun di akhir pertemuan, saya menemukan Mawar menjadi gadis manis yang senang membantu temannya, gadis manis yang rajin menyapu kelas dan berlatih menulis, Tinggal menjadi polisi kelas yang sangat membantu saya menentramkan kelas, Dede yang sudah mau mendengarkan apa yang saya katakan, Sarman yang selalu hadir di kelas dengan gambar-gambarnya yang luar biasa, Anto yang selalu setia menemani kemanapun saya pergi, Sarni Sarnah yang sudah cukup penyabar, Aryanti, Tika, dan Cucu yang tidak perlu ditemani orangtua lagi, Rasmi yang sudah bisa ke kamar mandi, dan Wardi yang selalu berbisik pada saya bahwa suatu hari nanti dia akan menemui saya di Jakarta dengan profesi polisi di Monas. Bahagianya :’)
Tidak mudah bagi saya untuk membentuk “tanah liat” ini dalam waktu 3 minggu. Hanya berusaha tulus dan menghargai jerih payah mereka sekecil apapun itu. “Partner yang mengajarkan saya bahwa salah satu jalan untuk mencapai suatu tujuan adalah apresiasi,” ungkapan Bu Tuti, salah satu pengajar GUIM saat memberikan apresiasi kepada saya. Benar, saya sungguh menikmati progress mereka dalam belajar. Ketika mereka sudah mampu menggambar hal lain selain gunung, walaupun itu hanya coretan yang tidak berbentuk, bagi saya itu kemajuan. Ketika di akhir pertemuan, banyak sekali anak-anak yang menggambar dua manusia yang ternyata salah satunya adalah saya, bagi saya itu kemajuan yang luar biasa. Ketika mereka telah berani jujur saat tidak mengerjakan PR, bagi saya itu anugrah. Banyak sekali hal-hal yang sering dianggap sepele oleh orang lain padahal sejatinya itu layak diberi apresiasi. Langkah sederhana untuk hasil yang luar biasa.
11.00 WIB.
M: “IBUUU SOPAAAA! Sini! Siniiii! Ayo Bu masuk kelaaaaas!”
S: “Iya Nak! Sabar, sabar. Ada apa? ^_^”
M: *menarik tangan saya*
…
S: *terharu* *pengen nangis*
Guru mana yang tidak terharu ketika anak-anak didiknya menyiapkan kejutan perpisahan yang manis di kelas. Itu saya. Saya tidak pernah menyangka anak-anak saya yang tingginya belum nyampe sepinggang saya bisa seromantis ini. Di dalam kelas telah banyak kado-kado. Mereka yang demikian polosnya berebutan menyerahkan kado itu pada saya.
“Ibuuu Sopaaa, ini untuk Ibuuuu!”
“Ibuuu, di dalamnya ada kerudung buat Ibu dari Mama.”
“Ibuuu, Satini belum ambil kadonyaaa, Satini jemput dulu yaaa Bu…”
“Bu, ini kado buat Ibu. Tadi saya yang beli isinya. Dikasih uang Rp 5.000,- sama Bapak!”
“Ibuuu, nanti dimakan di jalan mau ke Jakarta yaaa.”
“Ibuuuu,….”
…
Hening. Tak kuasa menahan haru. Tapi tidak mau larut. Mereka akan baik-baik saja. Pasti.
S: “WAAAAAH! BANYAK SEKALIII… TERIMAKASIH YA ANAK-ANAAAAK! IBU BAWA KE JAKARTA BOLEEEEH?”
M: “BOLEEEEEEH!”
Suasana bahagia di kelas itu berlanjut di atas panggung…
13.30 WIB.
“PENAMPILAN PERTAMA DARI KELAS SATUUUUUUUUU. KYAAAAA”
Saya pernah bermimpi bahwa saya ingin sekali mengatur anak-anak untuk tampil di suatu acara (mimpi ini pernah saya katakan kepada Bapak Nuzul, pengajar GUIM kelas 6 SD ketika pelantikan pengajar di Balai Sidang). Hari ini mimpi saya terwujud! Saya diberi kesempatan oleh Allah untuk mengatur anak-anak saya di atas panggung untuk bernyanyi dan dilihat orang banyak. Bahagianya melihat anak-anak begitu bersemangat menyanyi di atas panggung tanpa beban sedikipun. Mereka anak-anak saya. Anak didik saya. Saya bangga pada mereka.
Penampilan kami berjalan lancar. Sorak sorai tepuk tangan penonton saya anggap sebagai bentuk apresiasi bahwa anak-anak saya telah berhasil memukau penonton.
Usai penampilan, saya dan anak-anak masuk ke barisan penonton untuk melihat penampilan dari kelas lainnya. Entahlah ini hanya perasaan saya saja atau memang begini adanya, saat menonton bersama saya, anak-anak terlihat demikian dekatnya. Ada yang tiduran di paha saya, ada yang memeluk saya, ada yang memegang tangan saya, ada yang sekadar berpayungan dengan saya. Tahukah mereka bahwa sebentar lagi kami akan berpisah? Sepertinya mereka sudah paham bahwa perpisahan memang menyakitkan namun ini tidak dapat dihindari. Mungkin mereka hanya ingin melepas rindu sebanyak-banyaknya agar nanti masih bisa mengenang saya ketika paras ini tidak berdiri lagi di depan kelas mereka. Mungkin mereka hanya ingin menikmati moment-moment terakhir bersama saya sebelum semuanya sirna tanpa noda. Mungkin…
16.00 WIB.
Waktunya pulang. Perlahan warga mulai bubar dari barisan penonton. Tinggal 1 jam untuk mempersiapkan kepulangan.
S: *Nyari-nyari Anto*
Anto, anak didik yang paling dekat saya tetiba menghilang. Ingin sekadar pamitan namun raganya tak terlihat. Saya tidak tahu kapan terakhir Anto berada di lingkungan sekolah. Yang saya tahu, saya akan sangat menyesal ketika meninggalkan Cipeuti tanpa pamitan dengan Anto. Sembari mencari Anto, para orangtua murid mendekati saya sambil menangis. Saya yang memang dasarnya begitu rapuh (?) mudah sekali larut dalam isak tangis mereka.
Tinggal: *melirik saya* *senderan ke tembok* *nangis ternyata*
Cukup terkejut melihat polisi kelas yang saya kira kuat ternyata justru malah paling terisak menangis.
S: “Tinggal, ada apa Nak?”
T: *diam* *sesenggukan*
S: “Tinggal ingat kan apa yang pernah Ibu bilang di kelas? Ibu akan sedih kalo ngeliat anak murid Ibu sedih.”
T: *masih nangis*
S: *meluk Tinggal*
T: “Saya berhenti jadi polisi kelas, Bu.”
Cukup dramatis hingga (sekali lagi) saya menangis. Aduh! Kejadian dramatis itu akhirnya berakhir dengan Tinggal melepaskan pelukan saya dan pergi begitu saja. Sakit memang. Tapi saya tau Tinggal lebih sakit.
16.30 WIB.
S: *celingukan masih berharap Anto datang*
ANTO DATANG! Dibawa Nuel, salah satu panitia GUIM.
Kalo boleh, saat itu saya pengen banget muter lagu India sambil lari-lari ke Anto. Hahaha. Tapi karna status saya sebagai guru, cukuplah air mata di sudut mata yang menjadi saksi kebahagiaan hati ini (apaan sih Va!)
Obrolan sederhana dengan Anto sebagai layaknya Ibu dan anak pun terjalin.
A: “Bu Sopa, pulang sekarang?”
S: “Iya Nto.”
A: “Besok ga bisa pegangan dong?”
S: “Hm, iya. Ya udah sekarang pegang lama-lama.”
A: *ngambil hand sanitizer di tas saya*
S: “Buat Anto aja cuci tangannya.”
A: “Iya? Beneran?”
S: “Iya!”
A: “Ibu, di sini ada gambar tangan!”
S: “Oh iya? Anggap tangan Ibu Sopa aja ya Nto!”
A: *megang handsanitizer seolah-olah itu tangan Sopa*
Percaya atau ga, Anto nyium pipi saya. Masih kerasa mpe sekarang
S: :’)
17.00 WIB
Waktunya pulang. Ojeg sudah tersedia. Tas beres. Hm, selamat tinggal Cipeuti, selamat tinggal Anto, selamat tinggal anak-anak. Ibu akan ke sini lagi. Inshaallah
Depok, 8 Februari 2013 pukul 07:54 WIB